1.6.11

22.5.11 MALAIKAT dan MANUSIA

Semuanya tak bisa diharapkan. Rumah kedua dan kamar keempat. Malaikat dan sayap-sayapnya. Terbang tinggi. Jenuh melihat keadaan manusia. Mata mereka memerah, mungkin ingin menangis, tapi air mata terlalu syahdu buat mereka. Tidak cocok untuk hati yang sedang teriris. Terkikis oleh keburukan dan kejahatan. Mereka sedikit takut. Mungkinkah kebaikan, sedikit demi sedikit, hilang oleh terpaan angin kebusukan dan ketidakadilan? Mereka bertanya. Mereka tetap tak mengerti. Mereka sedang bertugas. Walau hati terluka. Tanpa Semangat. Meski jari-jaripun sudah sangat lelah.

memoar kecil..

Jangan bersembunyi! Bukan waktunya berlindung di balik bayang-bayang. Mungkin taring tidak tajam, namun jika ditambah sedikit keyakinan pasti semuanya akan berbeda.

***

Ambillah segenggam tanah lalu ciumlah. Bau itu akan meresap. Bau dirimu saaat mati nanti.

***

Bumi bergetar. Mengisyaratkan kebobrokan kemanusiaan. Wujudnya memudar. Mulai rapuh. Tidak lama lagi kiamat. Saat ini masih bisa meneguk segelas teh yang diaduk dengan sedikit perasan lemon. Simbol kesedihan yang diseduh bersama sedikit kekuatiran. Kebimbangan merajalela. Dewa-dewa baru bermunculan menarik simpati dan dukungan mayor. Jangan tunggu datangnya dajjal! Karena diantara para dewa dewi yang terlihat anggun, dia menyelinap masuk, berderet dalam baris kebusukan yang nampak baik...

***

diriku dengan malaikatku..

Kutarik selimutku. Mencoba mememjamkan mata. Yang kulihat hanyalah gambaran mahluk-mahluk laut sedang berkeliaran kesana kemari terombang-ambing oleh gerakan gelombang air yang tidak berirama.

Sebenarnya aku ingin tidur. Aku ingin tertidur di bawah iringan doa para malaikat penjaga. Namun akhir-akhir ini, hubunganku dengan mereka sedikit tegang. Kekakuan yang ingin kuhindari. Wajah masamnya terus terlihat hingga kini, sungguh pemandangan yang menyesakkan dada.

"Aku minta maaf pada kalian," bisikku lirih. "Aku sungguh meminta maaf."

"Maaf, karena disaat yang sama aku harus berpura-pura dalam kesadaranku menafikkan keberadaan kalian yang berdiri tegak menatapku nanar."

Kalian telah berteriak kerasa di telingaku hingga nyaris membuatku tuli. Membentakku sekuat tenaga. Aku kehabisan akal. Semua telah kukuras dalam ketakberdayaan. Aku menyerah. Pada akhirnya berduka, dalam penyesalan...
Penyesalan yang belum mampu kuperjuangkan sepenuh hati. Dalam ikatan nadi dan jalannya darah, aku memilih menjauh sejenak. Memang tak seindah yang terbayang. Hayalan, ilusi, kenangan, dan ingatan, semuanya terintegrasi dalam dunia utopis. Imajiner sifatnya. Tak dapat disentuh. Karena tak ada, itulah kenyataannya.

***